Translate

Rabu, 09 Oktober 2013

ART|JOG|13 ‘Maritime Culture’

Aceharts Yogyakarta - 158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman kembali mengejutkan publik di Yogyakarta. Sebuah bursa seni rupa kontemporer yang unik dan merupakan art fair-nya para seniman dengan karya seni rupa kontemporernya. Adalah kali keenam acara ini telah berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta. Yaitu ART|JOG 2013 yang merupakan perhelatan senirupa Indonesia dan Asia, berlangsung sejak tanggal 6 sampai 20 Juli di tahun 2013 ini.
Setelah tahun lalu ART|JOG mengusung tema 'Looking East-A Gaze of Indonesian Contemporary Art', tahun ini tema yang diusung ART|JOG|13 adalah ‘Maritime Culture’, sebuah tema yang dimaksudkan sebagai pintu masuk pola pikir maritim, dimana Indonesia mempunyai posisi penting dalam arus perkembangannya, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Seperti penyelenggaran sebelumnya, pameran ART|JOG|13 terbagi menjadi 3 kategori, yaitu Commission Work, Special Presentation, dan Art Fair. Dalam Commission Work, Iwan Effendi feat Papermoon Puppet Theatre diundang untuk menyulap halaman depan TBY dengan instalasi komidi putar raksasanya, Special Presentation menghadirkan desainer grafis dan tipografer Internasional Stefan Sagmeister, sedangkan Art Fair yang menjadi urat nadi utama penyelenggaraan ART|JOG dilakukan melalui mekanisme Open Call yang terbuka bagi publik. Dari Open Call Application yang dimulai pada 1 Maret sampai 13 Mei 2013, terdapat 1.423 proposal karya dari 829 seniman yang masuk ke meja panitia, seniman tersebut berasal dari 5 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Jepang, Australia, dan Amerika. Namun pada akhirnya seleksi berhasil memilih 158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman untuk diikutkan pada pameran kali ini.
ART|JOG|13 juga menyelenggarakan serangkaian program yang diperuntukkan bagi publik juga, yaitu Art Discussion dan Studio Visit.  “Building Indonesian Contemporary Museum” merupakan tajuk yang diangkat dalam Art Discussion dengan menghadirkan Tony Ellwood (National Gallery of Victoria) sebagai pembicara utama serta para praktisi seni dan aparatur negara. Semantara itu, SaRanG milik Jumaldi Alfi, Studio Biru milik Agus Suwage dan Studio Nasirun menjadi destinasi dalam program Studio Visit.
Selain itu ART|JOG juga mempersembahkan Young Artist Award, sebuah penghargaan bagi seniman muda terbaik peserta ART|JOG yang berusia maksimal 33 tahun. Tiga penghargaan tersebut diterima oleh Harry Prasetyo dengan judul karyanya Behind Teritory Line (conflict and agreements), Michael Binuko Sri Herawan dengan judul karya Megaptera Novalevitae Series, dan Theresia Agustina Sitompul dengan judul karyanya ”Noah’s Ark”. Sedangkan Aminudin TH. Siregar, Farah Wardhani serta Hendra Wiyanto adalah tiga kurator  yang melakukan penjurian.
Acara yang dibuka oleh Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Perekonomian RI) ini juga dihadiri oleh 8000 pengunjung, yang juga terdapat Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Ir Wiendu Nuryanti, pengusaha/pemilik Susi Air Susi Pudjiastuti, budayawan Eros Djarot serta para pengusaha/kolektor senirupa dari berbagai kota di Indonesia.
Sementara itu menurut Bambang "Toko" Wicaksono yang merupakan Kurator ART|JOG|13, “dari 115 seniman yang terpilih tersebut  berasal dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Bali, Magelang, Semarang, Jepang, Malaysia dan Australia. Dari jumlah tersebut, 82 orang merupakan perupa asal Yogyakarta”. Tidak heran memang, sebagai sarang seniman di Indonesia yang telah mengadakan acara-acara seni tahunan bertaraf international, Yogyakarta juga merupakan salah satu kota dengan iklim berkesenian yang sangat mumpuni, dimana hampir tiap hari kita bisa menyaksikan pameran seni rupa. Hal ini tentunya bukan cuma didukung oleh banyaknya seniman dan ruang pendidikan yang tersedia semata, namun terlebih juga karena pemerintah Yogyakarta melalui dinasnya mendukung sepenuhnya keberadaan kesenian, baik melalui fasilitas gedung, galeri, maupun pendanaan dan penunjang kesenian lainnya.

Hal ini tentunya lebih dari cukup sebagai pembanding dunia kesenian Aceh yang minim dukungan pemerintah. Padahal jika ditilik lebih jauh, kejayaan Aceh tempo dulu tidak pernah lepas dari yang namanya seni, karena seni merupakan alat ukur atas besarnya peradaban suatu bangsa. Maka seharusnya ruang-ruang seni diserahkan kembali pada masyarakat sebagai pewaris sah proses kebudayaan. 
Tragedi besar seperti perang dan tsunami setidaknya mampu mendatangkan kekhawatiran kita mengenai kusutnya peradaban atas nama Aceh. Setelah perang dan tsunami berhenti sudah barang tentu kesenian adalah salah satu hal yang harus mendapat perhatian serius pemerintah, terutama untuk tersedianya ruang-ruang ekspresi bagi masyarakat. Karena bagaimanapun, kesenian tidak bisa lepas dari eksistensi manusia atau suatu bangsa. Perang yang berlangsung lama di Aceh memang telah mengkerdilkan dunia kesenian, namun jika setelahnya iklim tenang dan damai pun tidak mampu mendatangkan kembali kesadaran untuk membangun kesenian dan menempatkannya kembali dalam diri masyarakat, maka manusia Aceh itu sungguh semakin terancam fisik dan jiwanya disaat sedang diam. Maka tidak salah jika mengatakan bahwa justru damailah musuh yang paling besar kita, karena telah mengabaikan hak-hak rakyat.***Tu-ngang Iskandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar