Translate

Rabu, 09 Oktober 2013

Di perantauan, tarian Aceh memprihatinkan

SULIT dipungkiri bahwa dewasa ini begitu banyak seni tari Aceh di luar Aceh yang telah kehilangan rohnya sebagai seni  Aceh. Hal ini bisa dilihat dari adanya kebosanan dan kekecewaan pada penontonnya saat menikmati tarian Aceh dan terfokusnya para pengajar tari yang rata-rata adalah para penari itu sendiri dalam menggubah bentuk semata, tanpa memperhatikan konteks nilai yang harus diisi ke dalam tarian tersebut.

Maka tidak heran ketika kita menghadiri sebuah pertunjukan yang menampilkan seni tari Aceh di luar Aceh, tepukan tangan penonton hanyalah sebuah energi atau upaya terfokus untuk mengapresiasi bentuk gerakan dengan kecepatannya semata, tanpa adanya suatu roh yang bisa menenggelamkan  jiwa penonton dan berusaha memperbaiki suatu krisis yang ada di dalamnya lewat rasa damai dan kepuasan rohani, sehingga tepukan bukanlah tepukan biasa.
Sebagai tanda dari adanya suatu fokus tentang bentuk yang miskin kreatifitas tersebut, ada baiknya saya paparkan mengenai betapa banyak tarian Aceh yang syair-syairnya tidak sesuai zamannya lagi, sehingga jangan heran ketika konsep acara, masa, atau tempat dimana tarian itu harus dipertunjukkan sering tidak nyambung dengan syair yang dibawakan. 

Selain itu, Fenomena kesalahpahaman dalam penyebutan nam atarian Aceh juga semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, tari likok pulo, tari ratoh duek, dan tari rampoe misalnya, jenis-jenis tarian tersebut sering dianggap sebagai tarian saman. Hal  ini bukanlah sebuah kebetulan, karena penggubahan-penggubahan bentuk yang  dilakukan yang minim kreatifitas, yaitu di antaranya dengan teknik bongkar pasang jurus dari beberapa tarian khas di Aceh lainnya ke dalam sebuah tarian akan berdampak pada kebingungan publik untuk mengidentifikasi nama tarian.

Kebingungan tersebut tidak cuma terjadi pada penonton, namun juga pada pengajar dan penari itu sendiri. Maka dari itu, tari likok pulo dan ratoh duek sendiri seiring dalam penggubahannya terkadang harus dinamakan tari rampoe (campuran), dikarenakan bentuknya yang  tidak karuan, namun dari itu masih bisa mengelabui penonton untuk menganggapnya sebagai tari saman yang telah diakui UNESCO  tersebut.

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita, mengingat terfokusnya sebuah karya seni pada bentuk dan untuk materialism semata tanpa memperdulikan unsur ekstrinsiknya akan juga berdampak pada hilangnya pamor sebuah karya seni itu sendiri. Dan jika ini terjadi, sebuah karya seni berbentuk tari akan terusberubah-ubah secara bentuk, karena ketidaksanggupannya memediasi nilai-nilai yang metafisik sebagai penguat sebuah tarian dan manusianya.

Seni yang berfungsi sebagai bangunan dan harapan kultural yang mempunyai kemampuan untuk menyaring dan mengevaluasi dunia pun bisa rubuh bersama ketidakberdayaan manusia untuk menyaring dan mengevaluasi krisis yang terjadi atas dirinya, maka seni dalam posisi tersebut bisa dianggap telah mati.

Sebagai Ancaman
Adanya krisis seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia tari Aceh, mengingat minimnya seniman tari baik yang berada di luar Aceh dan di dalam Aceh sendiri yang mampu memahami dan mengajarkan tarian Aceh secara baik dan berkualitas. Untuk itu, dibutuhkan suatu perhatian khusus dari pemerintah Aceh terhadap persoalan ini, baik denga nmenyediakan bahan-bahan berkualitas tentang seni tari Aceh, mengadakan seminar maupun diskusi ruti nuntuk membahas perkembangan terkini senitari Aceh yang melibatkan pelaku-pelaku seni taridi luar Aceh. Mengingat perkembangan seni tari Aceh di luar Aceh yang semakin pesat dan tidak terkendali akan mengancam seni tari Aceh secara keseluruhan dan perlahan juga akan merubuhkan citra positif dari kebudayaan Aceh itu sendiri.

Maka dibutuhkan sebuah upaya yang serius untuk meminimalisasi ancaman ini, mengingat kesenian tari Aceh bukan cuma soal tari-menari semata, namun juga kualitas yang harus tetap dilekatkan di dalamnya, supaya kesenian Aceh yang telah melegenda tersebut benar-benar mampu memberikan suatu pencerahan dan daya pikat yang kuat bagi dunia. Hal ini penting di era globalisasi sekarang, dimana pertarungan budaya semakin sengit dan akan menyingkirkan kualitas-kualitas rendah dari material-material budaya yang bersaing.

Kesenian Aceh di luar Aceh sebagai media promosi gratis untuk Aceh yang seharusnya juga perlu didukung, seperti halnya pesta kebudayaan di Aceh. Karena eksistensinya yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan kegiatan promosi dan pesta yang hanya bisa menghamburkan uang semata tanpa mendatangkan keuntungan yang seimbang.

Sebagai Wajah Aceh
Sebagai salah satu jenis seni yang telah dikenal dunia tersebut, tentunya sangat sayang untuk kita coreng dan telantarkan, mengingat tarian Aceh di luar Aceh telah pun menjadi wajah dari Aceh itu sendiri, yang bisa menjelajah dengan luas lewat keindahan dan wacana keacehan di dalamnya, baik untuk menegaskan eksistensi, membangun ekonomi maupun untuk membangkitkan rasa percaya diri bagi orang-orang Aceh.

Sewajarnya jika wajah tersebut terus dijaga dan dihiasi dengan warna-warna pelangi keacehan yang mumpuni, dan tidak tergerus oleh nafsu-nafsu yang hanya bersifat materi namun miskin esensi. Karena yang begitu tidaklah sebuah keberuntungan apabila terus dirayakan untuk dirusak. Semoga para pemimpin, seniman dan penari cepat sadar dan segera memperhatikan masalah ini, walaupun tidak mendatangkan keuntungan secara kelompok maupun pribadi.[]

Tu-ngang Iskandar, mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pemerhati budaya Aceh, aktif pada komunitas Seniman Perantauan Atjeh (SePAt)
- See more at: http://www.atjehpost.com/saleum_read/2013/09/19/66491/77/3/Di-perantauan-tarian-Aceh-memprihatinkan#sthash.axJfjedC.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar